Minggu, 13 September 2009

Rice Art : Aksi Greenpeace Asia Tenggara memperingati dunia untuk ketahanan pangan.

    Sebuah karya yang di sebut 'Rice Art' menempati area seluas 16.000 meter persegi dengan menggambarkan para petani memakai topi jerami dan menggunakan sabit untuk memanen padi - yang mencerminkan tradisi dan kehidupan para petani. Greenpeace melakukan karya seni ini di Thailand's Central Plains - daerah yang diakui sebagai salah satu daerah paling subur penghasil beras di Asia Tenggara - dengan dua warna beras organik. Salah satu bagian dengan varitas padi lokal yang tampak hijau dari atas, dan yang kedua adalah varitas beras hitam tradisonal.

Beras adalah kehidupan
     Beras terkait erat dengan budaya dan kehidupan masyarakat di Asia Tenggara. kawasan yang kaya akan warisan budaya beras harus dilindungi melalui pertanian padi yang berkelanjutan. Cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan menjaga beras kita melawan resiko akan 'teknologi' seperti rekayasa genetika, dan berinvestasi dalam produksi dan metode pertanian ekologi, pertanian yang tidak tergantung pada bahan-bahan kimia berbahaya.
     Pemerintah di Asia Tenggara harus mengeluarkan suatu larangan langsung pada GE (genetically engineered) tanaman pangan, khususnya beras dengan kandungan bahan kimia. mengancam mata pencaharian petani dan kandungannya dapat menimbulkan risiko terhadap lingkungan. Karena para perusahaan banyak yang mendukung beras GE ini mendorong perkebunan monokultur yang mengurangi keragaman, tanaman GE menambah risiko produksi beras di seluruh dunia yang ditimbulkan oleh pemanasan global.
    Beras adalah tanaman pangan yang paling penting di Asia Tenggara – berdasarkan perhitungan dari sekitar 25 persen dari total produksi beras dunia pada tahun 2008. Tetapi produksi beras di negara-negara seperti Indonesia, Filipina dan Thailand menghadapi ancaman dari perusahaan bioteknologi.

Pertanian terancam perubahan iklim
    Pertanian pada saat ini menghadapi perubahan iklim di Asia Tenggara yang merupakan produsen pertanian terbesar di dunia - tetapi pada saat yang sama menjadi sangat rentan terhadap bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim. Bank Pembangunan Asia (ADB) melakukan penelitian yang dirilis bulan April lalu mengungkapkan bahwa jika tidak ada tindakan global yang di lakukan, perubahan iklim akan menyebabkan penurunan yang serius dalam produksi beras di negara-negara seperti Indonesia, Filipina, Thailand dan Vietnam.
     Perubahan iklim akan sangat mempengaruhi pertanian di seluruh dunia. Ketahanan pangan di banyak negara adalah ancaman besar dari curah hujan yang tidak terduga dan lebih sering terjadinya cuaca ekstrim. Tujuh puluh persen dari kemiskinan dunia ditemukan di daerah-daerah pertanian di mana petani bergantung pada hujan untuk hasil panen mereka - di mana terlalu banyak atau terlalu sedikit hujan adalah suatu bencana. Pemerintah perlu mengakui bahwa pertanian sangat rentan terhadap perubahan iklim dan mereka harus memastikan strategi adaptasi berdasarkan pada teknik-teknik pertanian berkelanjutan.
   Dalam laporannya yang berjudul "Ketahanan Pangan dan Perubahan Iklim" , Greenpeace meninjau studi ilmiah yang menggarisbawahi strategi yang paling efektif untuk adaptasi pertanian terhadap perubahan iklim adalah pertanian yang mampu meningkatkan keanekaragaman hayati. Campuran tanaman dan varitas yang berbeda dalam satu bidang adalah sesuatu yang sudah terbukti dan sangat dapat diandalkan untuk metode pertanian yang akan meningkatkan ketahanan terhadap perubahan cuaca yang tak menentu. Dan, cara terbaik untuk meningkatkan tingkat toleransi dalam satu varietas teknologi peternakan yang modern yang tidak memerlukan gangguan genetik.
     Selain itu untuk menjaga pertanian terhadap perubahan iklim - adalah penting untuk mengenali bahwa pertanian itu sendiri juga merupakan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar. Laporan Greenpeace yang berjudul “Cool Farming” melakukan rincian praktek-praktek yang merusak hasil dari industri pertanian dan menyajikan solusi yang terbaik untuk membantu mengurangi kontribusinya terhadap perubahan iklim. Solusi sederhana ini akan bermanfaat bagi lingkungan serta petani dan konsumen di seluruh dunia tanpa menggunakan tanaman rekayasa genetika yang berbahaya.
    Greenpeace berkampanye untuk Tanaman yang bebas dari GE  dan produksi pangan didasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian, perlindungan keanekaragaman hayati, dan memberikan seluruh masyarakat makanan yang aman dan bergizi. Kami menolak rekayasa genetika yang tidak diinginkan dan tidak perlu serta teknologi yang mencemari lingkungan, mengancam keanekaragaman hayati dan dapat menimbulkan resiko terhadap kesehatan kita (Sumber : Greenpeace Asia Tenggara , http :www.greenpeace.org/seaasia)

Asap : Bencana yang tidak bisa dihindari ?

    Beberapa bulan terakhir ini masyarakat di beberapa daerah di Indonesia seperti di Kalimantan dan Sumatra mengalami bencana asap.  Asap sebagai dampak dari kebakaran lahan dan hutan menyelimuti beberapa beberapa daerah tersebut.  "Bencana asap" kalau kita bisa katakan merupakan peristiwa yang terus berulang setiap tahun.  Kebakaran lahan dan hutan ini diebut debagai "bencana" karena kebakaran lahan dan hutan tersebut telah meluas dan tidak terkendali sehingga merusak lahan dan hutan sehingga menghasilkan asap dalam jangka waktu yang berkepanjangan.  Kenyataan menunjukkan kebajaran lahan dan hutan ini bukanya berkurang, malah setiap tahun luasan dan intensitasnya semakin bertambah besar. 
   Kebakaran lahan dan hutan ini menimbulkan dampak negatif yang sangat besar baik secara langsung maupun tidak langsung bagi masyarakat.  Dampak sosial dan ekonomi sangat besar termasuk mengganggu kesehatan dan transportasi masyarakat, bahkan kabut asap yang timbul di beberapa negara tetanga juga dituding sebagai kiriman dari negara kita.  Ini tentu sesuatu yang tidak  bisa kita biarkan begitu saja.
    Sebagai ilustrasi kebakaran lahan dan hutan yang terjadi pada tahun 1997/1998 ternyata telah melepaskan 2,6 miliyar karbon ke dalam atmosfir yang jauh lebih besar dari perkiraan sebelumnya yaitu 1 miliar ton pada tahun 1999.  Dengan angka 1 miliar ton saja Indonesia telah menduduki peringkat pertama sebagai negara penghasil karbon terbesar di dunia karena 22 persen dihasilkan dari kebakaran lahan dan hutan di Indonesia pada tahun 1997/1998.  Sebagai pembanding saja aktivitas manusia pada tahun 1980-an setiap tahunya rata-rata menghasilkan 6 miliar karbon.  Produksi sebesar 2,6 miliar karbon tersebut setara dengan 13-14 persen produksi karbon global (Saharjo, 2003). 
    Dari segi kesehatan kebakaran lahan dan hutan menyebabkan peningkatan konsentrasi polutan yang sangat tinggi terutama Total Suspended Particulate (TSP) dan Particulate Mater Less Than 10 Micron (PM10).  Asap kebakaran hutan dan lahan sangat mengganggu kesehatan karena mengandung partikel debu dan gas-gas berbahaya/beracun seperti karbon monoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2) dan Ozon (O3), hidrokarbon, dll.  Ini tentu sangat mengganggu kesehatan seseorang, karena bukan hanya mengganggu sistem respirasi tetapi juga akan mengganggu organ dan jaringan tubuh lainya karena semua organ membutuhkan energi yang tergantung dari proses respirasi.  Bahkan dampaknya bukan hanya terbatas pada saat terjadi kebakaran lahan dan hutan saja, tetapi juga berdampak pada gangguan kesehatan dalam jangka panjang, terutama anak-anak. 
     Asap yang ditimbulkan dari kebakaran lahan dan hutan juga menyebabkan terbatasnya jarak pandang sehingga hal ini sangat mengganggu akses transportasi masyarakat.  Sudah kita dengar beberapa bandara untuk sementara ditutup untuk jalur penerbangan karena gangguan ini.  Gangguan transportasi masyakat ini berakibat juga terhadap berkurangnya aktivitas ekonomi masyarakat.  Coba kita cermati berapa kerugian secara ekonomi yang ditimbulkan dari dampak asap ini?   Permasalahan asap ini juga dampaknya juga dirasakan di negara tetanggga kita, sudah barang tentu effek politisnya sangat besar.  Bukan hanya arus barang dan wisatawan menjadi terhambat bahkan arus modal masuk (investasi) sedikit banyak terhambat. Kalau sudah begini ujung-ujungnya adalah perekonomian daerah maupun nasional akan terganggu.
     Bukan itu saja, biaya yang dikeluarkan untuk memadamkan kebakaran lahan dan hutan juga tidak sedikit. Ingat kebakaran lahan dan hutan pada tahun 2007 bahkan pemerintah sempat menyewa pesawat terbang dari Rusia khusus untuk memadamkan kebakaran ini.  Berapa biaya yang bisa dihemat jikalau tidak ada kebakaran lahan dan hutan dan biayanya bisa dipakai untuk dana pembangunan  di daerah tersebut yang kita tahu infrastruktur maupun sarana lainya masih tertinggal dibandingkan daerah lainya.
     Kalau kita cermati sebenarnya mengapa peristiwa ini selalu berulang setiap tahun? Mengapa kita tidak bisa melakukan antisipasi sejak dini agar bencana ini tidak berulang setiap tahun?
    Seperti yang kita ketahui bersama, hutan tropis Indonesia merupakan hutan alam tropis basah yang banyak memiliki kekayaan dan keragaman flora dan fauna yang tidak ternilai harganya.   Hutan sumberdaya alam yang mampu mendorong perekonomian masyarakat maupun negara.  Namun seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk pengusahaan hutan dilakukan secara membabibuta tanpa memperhastikan aspek kelesetarianya.  Degradasi hutan terjadi secara besar-besaran.  Tidak heran sebagian besar huatan-huatan kita pada saat ini kondisinya sangat menggenaskan, rusak dan dibiarkan begitu saja.  Rusaknya hutan berakibat tidak berfungsinya hutan sebagai bagian dari ekosistem juga rusak. 
    Alih fungsi hutan secara besar-besaran untuk kegiatan HPH, pembangunan HTI, perkebunan, pertanian/perladangan, kawasan transmigrasi dan pertambangan mengakibatkan terbukanya hutan dan kerusakan hutan sehingga rawan terhadap bahaya kebakaran.  Apalagi pada saat ini alih fungsi hutan untuk areal perkebunan terutama kelapa sawit dilakukan secara besar-besaran hampir disemua daerah.  Dicurigai sebagian besar lahan -lahan untuk perkebunan ini penyiapan lahanya dilakukan dengan pembakaran lahan.  Hal yang tidak mustahil karena dengan metode tebang dan bakar ini akan sangat menghemat biaya, sesuatu yang akan dilakukan pengusaha untuk  meraup keuntungan yang sangat besar.  Coba bandingkan jika membuka lahan dengan metode tanpa bakar, akan memakan waktu yang lebih lama dan memerlukan biaya dan tenaga kerja yang jauh lebih besar.  Sebuah studi menunjukkan bahwa dengan metode tebang dan bakar ini hanya memerlukan biaya 1/3 saja dan waktu yang sangat singkat.  Sebuah metode yang sangat effisien dan sangat menguntungkan bagi pengusaha namun menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi lingkungan, masyrakat dan negara.   
     Degradasi hutan akibat pembukaan hutan akan menimbulkan lahan -lahan terbuka tanpa ditumbuhi pohon-pohon yang tinggi,  lahan ini biasanya didominasi oleh semak dan rumput serta alang-alang.  Lahan-lahan seperti ini akan mudah terbakar terutama pada saat musim kemarau seperti ini.  Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa hanya pada kawasan hutan yang terbuka dan rusak saja yang selalu terbakar, sedangkan hutan-hutan yang masih asli (virgin forest) tidak terbakar dan memiliki kemampuan untuk memulihkan diri (self recovery) dalam waktu singkat.
    Kajian Anshari (2003) menunjukkan kebakaran lahan dan hutan di Indonesia disebabkan oleh ulah manusia yang melakukan pembakaran pada lahan gambut, pembakaran untuk membuka areal perkebunan termasuk areal untuk kelapa sawit dan HPH/HTI, pembakaran pada sisa-sisa kayu dan ranting pada areal HPH yang rusak serta pembakaran vegetasi pada sistem perladangan berpindah.  Sebagian besar pemabakaran lahan dan hutan pada lahan gambut maupun pembukaan areal perkebunan selama ini dituding sebagai pelaku utama.  Seperti yang kita ketahui selama ini, pembakaran hanya akan menghasilkan asap dalam jumlah yang sangat besar apabila "bahan bakar" berasal dari bahan yang kandungan airnya tinggi.  Lahan gambut dan hasil  tebangan untuk pembukaan areal perkebunan mempunyai kandungan air yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lainya. Perladangan berpindah walaupun termasuk penyebab kebakaran lahan dan hutan namun prosentasenya kecil, mereka melakukan metode pembakaran secara terkendali dan mereka sudah melakukan metode ini sejak ribuan tahun yang lalu dan tidak dilakukan secara massif seperti pembukaan lahan untuk perkebunan.
    Penyiapan lahan untuk berbagai keperluan terutama perkebunan dan HTI dengan pembakaran yang terjadi pada lahan gambut tentu saja menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi lingkungan.  Studi yasng dilakukan Saharjo (2003) menunjukan bahawa  suhu akibat pembakaran dapat merusak gambut, menghilangkan kapasitas penyimpanan air, menghilangkan kapasitas penyerapan karbon, menghilangkan sumberdaya genetik dan keanekaragaman hayati, melepaskan karbon, menghilangkan berbagai fungsi ekologis dan ekonomis serta tidak kalah pentingnya adalah mencoreng nama baik bangsa di dunia internasional. Penelitian Laboratorium Kebakaran Hutan  dan Lahan IPB dan Kantor kementrian Lingkungan Hidup RI menunjukkan bahwa penyiapan lahan dengan pembakaran pada lahan gambut seluas 3.000 hektar dengan ketebalan gambut yang rusak rata-rata 10 cm maka untuk mengganti kerusakan ekologis dan kerugian ekonomis serta upaya pemulihanya diperlukan biaya sebesar Rp. 800 milyar.
   Sekarang pertanyaan bagi kita semua, akankah kebakaran lahan dan hutan ini terus terjadi setiap tahun tahun?  Pemerintah dan pemerintah daerah serta berbagai elemen masyarakat saya kira harus mengambil langkah-langkah yang nyata. Tindakan yang segera dilakukan pada saat ini adalah bagaimana upaya memadamkam kebakaran lahan dan hutan agar dapat dikendalikan dan tidak meluas dan berkepanjangan sehingga asap yang ditimbulkanya dapat dikurangi.  Pemadaman dapat dilakukan lewat darat maupun melalui udara dengan pesawat.  Ternasuk upaya Tim Modifiksi Cuaca dari BPPT yang sedang melakukan upaya pembuatan hujan buatan di beberapa daerah patut kita dukung dan apresiasi dengan baik. Upaya ini juga harus dibarengi dengan upaya penegakan hukum (law enforcement) tanpa pandang bulu terhadap siapapun yang melakukan pembakaran secara sengaja termasuk pengusaha-pengusaha HPH/HTI dan perkebunan kelapa sawit yang terbukti melakukan kejahatan lingkungan pembakaran lahan dan hutan harus diproses sesuai hukum yang berlaku untuk menimbulkan effek jera.
     Selanjutnya kedepan perlu langkah-langkah antisipatif untuk meminimalkan berulangnya bencana asap ini dengan meminimalkan terjadinya kebakaran lahan dan hutan.  Upaya ini dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak dari awal untuk menyusun langkah-langkah antisipatif secara bersama baik pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten/kota, LSM, perguruan tinggi, masyarakat desa sekitar hutan maupun aparat penegak hukum secara terencana dan terpadu.  Saya kira kedepan kita tidak ingin dikenal sebagai "eksportir asap" oleh negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia,sebuah julukan yang amat memalukan dan mecoreng nama bangsa di dunia internasional.
    Stop Kebakaran, Stop Asap dan Stop Bencana !
  
   

Sabtu, 05 September 2009

Mulai dengan semangat baru.

Memulai blogging dengan semangat yang baru.  Benar-benar memulainya dengan bergairah.   Saya seperti menemukan apa yang selama ini biasa saya lakukan namun  lama terhenti.  Saya menemukan keasyikan tersendiri dengan aktivitas blogging yang saya jalani ini.  Betapa asyiknya mengedit blog ataupun memposting tulisan walaupun saya kadang terbingung-bingung tulisan apa yang seharusnya saya posting. Bukan apa-apa...namanya juga baru memulai nulis kembali...